Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Penjara Hati, Haruskah Lari Dari Masa Lalu? Bagian Satu

qodry flava dari novel empat senja diujung jalan
Qodry Flava by Dapur Photo @Bang Jenggot P.H
Kali ini penulis mencoba menyampaikan sebuah  kisah inspirasi/motivasi untuk kalian yang sedang mengalami trauma. 

Tentunya hal ini juga tidak jauh kaitannya dengan penulis, yang mana juga pernah mengalami hal tersebut beberapa kali. 

Maka penulis akan mencoba memaparkannya lewat tulisan ini yang isinya berdasarkan petuah-petuah yang ia dapat dari orang-orang yang membantunya kala itu, rangkuman dari beberapa artikel yang pernah dibaca, lingkungan sekitar, dan dari diri sendiri. 

Penulis pernah menyaksikan sebuah kisah percintaan seorang sahabat pria dan wanita yang trauma akan tragedi masa lalunya. Sang pria takut dikecewakan karena pernah ditinggal oleh wanitanya yang menikah dengan pria lain, sedangkan sang wanita takut dikecewakan karena pernah gagal menikah serta dikhianati

Adapula yang gagal menikah karena materi sebagaimana halnya penulis juga pernah mengalami hal yang sama, dan beberapa perihal lainnya. Mereka semua sama-sama memiliki trauma dan takut akan perubahan, mungkin karena sudah terlalu nyaman dengan kesendiriannya?

Saat menuliskan artikel ini, begitu banyak kisah maupun berbagai filosofi-filosofi yang terlintas dibenak, ingin turut menceritakan tapi sebaiknya kita tetap fokus saja pada objek cerita yang ada.

Kembali pada kisah sebelumnya, terkadang penulis merasa heran dan bertanya pada diri sendiri, “mengapa mereka terus membiarkan dirinya larut dalam trauma? apa kalian tidak sadar bahwa dengan terus larut di dalamnya, maka sama halnya seperti kita menutup hal baik yang akan menghampiri kita.” 

Katakan lah sang pria dan wanita yang trauma ini telah saling dipertemukan, namun karena mereka masih mengikat diri, sehingga mereka saling meragukan satu sama lain. Padahal begitu banyak hal yang bisa mereka lakukan, salah satunya seperti saling mengisi kekurangan, saling menjaga karena masing-masing dari mereka sudah tau bagaimana rasanya dikecewakan. 

Kalian lihat? Sudah semestinya saat takut dikecewakan oleh trauma, kita menjadikan rasa tersebut sebagai sebuah alasan untuk memperpantas diri lebih baik lagi dari sebelumnya ketimbang menjadikannya sebagai batasan-batasan bagai pagar atau dinding-dinding yang menjulang tinggi

kita tanpa sadar membuat batasan itu untuk berhati-hati akan hal-hal baru yang hendak singgah, yang jangankan orang lain bisa lewat malah kerap kali jadi pembatas bagi diri sendiri karena kita bersembunyi atau lari, maka jadilah kita seperti katak dalam tempurung. 

Ada yang bilang kalau harapan yang besar, datang bersama rasa kecewa yang sepadan. Maka usahakan lah yang besar pula, percayalah bahwa kemudahan datang bersama kesulitan

Apakah ada di antara pembaca yang sudah menonton film “Mine”

Film tersebut menceritakan tentang dua tentara yang sedang berada di gurun hendak menuju ke desa pada lokasi penjemputan sehabis melaksanakan tugasnya. Salah satu dari mereka melihat tanda “awas banyak ranjau”, namun temannya itu terus mengoceh bahwa tak ada ranjau sembari terus berjalan. 

Ketika ia mencoba memperingatkan temannya untuk berhenti melangkah, temannya itupun akhirnya mati saat menginjak salah satu ranjau. Sedangkan ia pun tanpa sengaja telah menginjak ranjau pula. 

Dia terus berusaha mengencangkan kaki diatasnya agar tak berpindah, yang sehingga akan menyebabkan ranjau tersebut meledak dan menewaskannya. 

Hari demi hari ia lewati demi bertahan sampai pasukan yang menjemputnya tiba, paling tidak sampai ada seseorang yang lewat dan bisa menolongnya. Akhirnya, seorang pria paruh baya lewat di depannya, dan sontak saja ia meminta pertolongan. 

Namun, pria tersebut bukan malah menolongnya melainkan menertawakannya sambil berujar, 

“kau yakin menginjak ranjau?”, 
“ya”, ujar sang tentara. 

Lantas pria itu berkata “kau harus membebaskan pikiranmu, hadapilah ketakutan mu, majukan langkah mu, jangan berdiam ditempat”, seraya berjalan meninggalkan sang tentara. 

Beberapa saat kemudian lewat radio terdengar komandannya menghubungi dan berkata bahwa tim pasukan penjemput tidak bisa datang karena terjadi baku tembak, jadi ia diharapkan untuk menunggu selama 72 jam lagi. 

Singkat cerita, ia pun lemah dan kehilangan kesadaran. Maka ia memutuskan untuk menggali lubang disebelahnya agar saat mengangkatkan kaki, ia bisa segera menjatuhkan diri ke dalam lubang sehingga akan menurunkan tingkat resiko dari ledakan ranjau tersebut, paling tidak ia tak mati. 

Setelahnya, ia pun menangis sambil tertawa. Alangkah bodohnya, pikirnya. karena selama ini ia memijakkan kaki bukan di atas ranjau melainkan di atas sebuah kaleng berisikan mainan anak-anak.

Apa yang bisa kita resapi dari cerita tersebut?

Saat kita mengalami trauma, muncul ketakutan yang teramat besar, namun kita harus melawannya. Jangan seperti si tentara tersebut yang takut mati karena melihat temannya itu, padahal ia tetap akan mati kelaparan dan dehidrasi di gurun itu jika tak memindahkan tapak kakinya untuk terus maju.

TRAUMA

Ya, ia seperti sebuah penjara hidup yang terus melumat hati dan pikiran. Banyak hal yang disebabkan, namun kita begitu saja membiarkannya selalu hadir menghalangi atau membatasi langkah kita. 

Kenapa? Karena trauma ini cenderung kita jadikan sebagai “KAMBING HITAM” atas keterpurukan yang sedang kita alami. membuat kita terlalu sibuk mengingat masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan sehingga kita tak memiliki hari ini untuk disyukuri

Di sadari ataupun tidak, banyak pula hal yang timbul dalam diri mereka yang tidak membuka hatinya untuk lawan jenisnya, seperti:
-  Tidak mau kecewa
-  Tidak mau/malas ribet dengan berbagai permintaan
-  Tidak mau pusing dengan masalah yang akan datang dan berpikir bahwa memiliki pasangan akan mendapatkan masalah baru
-    (parahnya) suka dengan sesama jenis
-    Dan lain sebagainya

 BERSAMBUNG . . .

Mau donasi lewat mana?

BCA - Wahyu U. Putra (Change)

BRI - Wahyu U. Putra (7632-0100-8728-539)

JAGO - Wahyu U. Putra (1030-9045-3066)

DANA - Wahyu U. Putra (0851-7444-2818)
Menyukai artikel ini? Ayo dukung dengan donasi. Klik tombol merah.

Post a Comment for "Penjara Hati, Haruskah Lari Dari Masa Lalu? Bagian Satu"