Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jangan Memaksa Cinta

Gambar Google

Pagi ini terlambat ku kembali dari pelayaranku di pulau kapuk, sehingga membuatku terjaga saat matahari sudah tak lagi tersenyum. Jelas saja hal ini tak lagi mengejutkanku karena sudah hampir menjadi runitas saat berada di kampung halamanku di kota Topann.

Namaku David Bayu, dan kebanyakan dari teman-teman memanggilku Bayu. Aku adalah seorang pecinta seni, baik itu drama, tari, maupun musik. Aku juga seorang lulusan dari sebuah universitas dengan gelar sarjana sastra.

Beberapa tahun belakangan terutama di masa pandemi, aku mulai sering mudik dan menetap agak lama di kampung setelah lebaran idul fitri. 

Tujuanku pulang bukan akibat pekerjaan melainkan karena menjenguk ibuku yang tinggal sendirian di kampung halaman. Berziarah ke makam ayahku juga menjadi alasan untuk pulang, dan hal ini telah menjadi ritual tahunanku sejak beliau wafat.

Sebagai seorang anak yang dulu pernah bandel dan nakal, setidaknya aku ingin mengirimkan do’a-do’a-ku untuk menemani beliau di tempat peristirahatannya. Ritual ini kuanggap seperti bersua bersama almarhum ayahku, meski tak bisa memeluk atau melihatnya secara langsung, setidaknya aku berada tepat di tempat kediaman terakhir beliau.

Banyak orang berkata “yang sabar ya, Bayu”, dikala itu. 
Hal ini lantas saja membuatku berpikir “apa aku masih kurang sabar?”

Kulihat dan kuperhatikan mereka dengan seksama sembari bergumam “apa mereka itu orang-orang yang tabah?”

Perkara ini benar-benar menghantuiku untuk beberapa waktu. Cukup banyak menghabiskan hari dengan renungan dan introspeksi diri. 

Lalu kulihat dan kuperhatikan mereka sambil berpikir “apa yang mereka kerjakan?” Berlalu-lalang kesana-kemari setiap hari bahkan di malam hari. 

“Apa yang membuat mereka begitu tabah?”

Sampailah pada suatu waktu yang menghantarkanku ke sebuah rumah duka, dan saat itu terdengar kembali kata-kata ajaib itu, “yang sabar”, namun dengan tambahan kecil “jangan bersedih ya”. 

Kurasa untuk dewasa ini, kita telah cukup mengerti akan semua perihal tersebut. Kita bukan anak kecil yang perlu ditenangkan seperti itu.

Teringatlah seorang sahabat yang telah lama kehilangan orangtuanya. Dia pernah mengatakan padaku bahwa tak ada satupun dari kata-kata ajaib itu yang bisa menenangkannya, malah terkadang bisa memperparah keadaan.

“Aku kangen pada orang-tuaku, Bayu”, ujar sahabatku.
“Aku ingin memeluknya tapi tak bisa! Guling saja tak cukup untuk meredakan perasaan itu.”

“Kau kira mereka peduli ketika mengatakan itu? Tidak, Bayu ! Ujarnya lagi.

“Iya, tapi kan mereka mencoba berbuat baik”, kataku.

“Berbuat baik kok coba-coba?”, katanya menimpali.

Teringat akan percakapan dengan sahabatku itu, melihat dan mendengar omongan mereka lantas membuatku sadar. 

Sebenarnya mereka tidak benar-benar peduli. Setelah mengucapkan keyword andalannya itu, mereka kembali saling tertawa seakan melupakan yang telah terjadi.

Lantas pula aku mencoba memposisikan diriku seperti mereka sebelum kehilangan, yang membawaku pada sebuah kesimpulan,

bahwa seseorang pasti tahu dan mengerti akan rasa sakit yang hebat apabila ditinggal pergi, namun mereka tidak paham mengenai seberapa sakitnya dan dalam rasa tersebut.

Maka seharusnya lebih baik kita mengucapkan “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, saya turut berbelasungkawa”. 

Atau bisa dengan “perbanyak istigfar, ya”, dan “jangan tertinggal shalat 5 waktu serta kirimkan do’a kepada Allah untuk almarhum/almarhumah”, 

juga “perbanyaklah shalat malam jika mampu.” 
Hal-hal ini insya Allah pasti lebih berguna bagi yang sedang berduka.

Rupanya tidak sampai disitu saja, pelajaran ini membawaku pula ke salah-satu tahapan lainnya yang berawal di pagi ini.

Aku yang merasa kegerahan setelah terjaga, dengan demo kecil dari warga cacing membuatku beranjak dari ranjang. Tanpa pikir panjang akupun bergegas keluar kamar dan langsung menuju dapur. 

Di dapur ada beberapa tusuk sate dengan nasi putih yang masih hangat. Mungkin karena bangun agak kesiangan mengakibatkanku jadi hilang selera, aku jadi tak menyentuh satupun hidangan sate di meja.

Aku kembali dari dapur menuju ke kamar ibuku yang sudah tua. Tampak disana beliau yang sedikit beristirahat karena berpuasa.

“Bu, hari ini masak?”, tanyaku.

“Nggak, kamu beli saja ya?”, katanya.

Sembari mengiyakan, aku menutup pintu kamar dengan perlahan. Saat hendak mengganti pakaian ke kamar, samar terlihatku sosok seseorang yang sedang duduk di bangku teras depan pintu rumah.

Akibat penasaran, aku segera melihat melalui pintu rumahku yang berkaca hitam. Ternyata sosok itu adalah seorang wanita yang menggunakan masker, ia tampak sedang melihat-lihat handphone nya.

Awalnya aku mengira perempuan itu adalah keponakanku, setelah kuperhatikan ternyata bukan.

“Ah, mungkin dia tetanggaku yang baru menempati rumah sewa nenekku”, pikirku.

Akupun berjalan kembali menuju kamar. Ketika tanganku tepat digagang hendak membuka pintu kamar, terdengarlah suara dari sosok wanita bermasker.

“Ayolah kita pergi!”, ujarnya seperti menggerutu.

Sontak saja aku kaget dan melihat kembali ke sosok wanita bermasker yang sedang menoleh ke arah ayunan. Entah kenapa aku harus penasaran, dan ingin tahu dia mengobrol dengan siapa. 

Entah mungkin terlintas mengira wanita tersebut sudah gila atau sedang mengobrol via video call di handphone-nya.

Sungguh tak dinyana, tiba-tiba hadir sosok baru yang mulai beranjak dari ayunan menghampiri si wanita bermasker. Sosok wanita dengan gaun bermotif kebiru-biruan bak biru langit itu berkata “ayo, berangkat” bagai berbisik pada temannya.

Begitu sopan suara itu masuk ke telinga, bak lantunan syair atau lagu nan merdu yang membuatku kian penasaran akan rasa yang disampaikan.

Mereka mulai berjalan ke perkarangan rumahku menuju pagar. Aku masih terus mengintipnya diantara tirai jendela rumahku, dari satu ke jendela lainnya yang berada di ruang tamu. 

Sesaat wanita bermasker berdiri sejenak di halaman, perhatiannya masih tersita oleh handphone. Temannya ikut menoleh pula melihat ke handphone si wanita bermasker. 

Disanalah akhirnya wajah putih alami seperti awan itu terlihat dengan jelas berseri di mataku.

Sosok wanita berparas manis dengan bibir merah jambu, mengembalikan perasaan yang telah lama kudiamkan. Perasaan itu tumbuh kembali bersama benih-benih baru, tinggal kusiram dan kurawat agar tak layu.

Telah kutemukan kembali kunci pintu hatiku yang lama terkunci sejak 7 tahun terakhir. 

“Oh, Tuhan, adakah ku telah jatuh hati lagi? Jika benar, bisakah kali ini jangan jatuh hati tapi bangun hati”, gumamku.

“Inikah saatnya, Ya Allah? 
Atau ini cuma ujian yang harus kulewati lagi?”, ujarku dalam hati.

Sejenak ia terhenti kembali, membuka lalu menutup dan mengunci kembali pagar itu. Sesaat waktu terasa lama, dan, hanya butuh waktu 10 detik untuk menikmati keindahan yang diberikan Tuhan.

Mata yang melihat ini tak berkedip, wajah pun tak berpaling. Rasanya ingin saja kudatangi dan kukatakan “izinkan lah aku untuk menghalalkan mu”.

Sekejab teringat kembali akan kejadian-kejadian yang telah kulalui, yang aku telah memetik pelajaran  darinya.

Untuk kesekian kalinya aku meyakinkan kembali diriku, aku tidak ingin cinta mati pada seseorang. 

Aku ingin cinta di dunia hingga akhirat, cinta ‘til jannah. Cinta hanya karena Allah serta sebagai salahsatu bentuk ibadah guna menyempurnakan separuh agamaku.

“Ini cuma fatamorgana, Bayu! 
Ada jin yang membutakan matamu”, ujarku.

“Belum tentu juga ia mau bersamamu! 
Apalagi jika ia hanya memandang fisikmu!”

“Dirimu saja telah menginjak usia 32 tahun, sedang dia mungkin masih sekitaran 21-23 tahun.”

Begitu dialog yang terjadi pada hati dan pikiranku.

“Tenang! Jika ia jodoh mu, maka ia tak akan terlewat olehmu. Tak perlulah kau risau.”

“Janganlah memaksa, meski kau cinta. Semua kata dan rasa itu sungguhlah dusta.”

“Kalian pasti akan bertemu kembali dengan mudah melalui cara yang telah diatur oleh Allah s.w.t., semua akan terjadi bahkan tanpa kau sadari. Cukup tetap yakini bahwa rencana Allah pasti lebih indah”, timpalku lagi kepada diriku.

Wajah itu masih tak lepas dari pandanganku, hingga ia berlalu melalui pagar rumahku menuju entah kemana.

Tanpa ingin memberi panggung lagi bagi rasa penasaranku, akupun merelakan sang wanita yang bahkan aku tak tahu asal rimbanya itu.

Semuanya kupasrahkan dan kuserahkan kepada Allah s.w.t semata. Biarlah Allah jua yang memberikan plot cerita terbaik pada kisah yang kutulis, sehingga setiap kata pun akan menjadi lebih bermakna.

Mau donasi lewat mana?

BCA - Wahyu U. Putra (Change)

BRI - Wahyu U. Putra (7632-0100-8728-539)

JAGO - Wahyu U. Putra (1030-9045-3066)

DANA - Wahyu U. Putra (0851-7444-2818)
Menyukai artikel ini? Ayo dukung dengan donasi. Klik tombol merah.

1 comment for "Jangan Memaksa Cinta"